Beruntunglah buat kita yang terlahir diantara tahun 70-an s.d akhir 90-an. Generasi yang terlahir dikurun waktu tersebut mengalami masa yang lengkap. Masa kecil biasa bermain dengan permainan yang tradisional, semacam engklek, kelereng, gobak sodor, halma, dam-daman, juga masih kebagian game yang sifatnya teknologi semacam: video games, game boy, ps, game komputer, etc.
Nah, salah satu hal yang juga umum dialami oleh generasi tersebut adalah santap hasil kenduri. Kenduri (disebut juga genduren), merupakan salah satu tradisi budaya kita sebagai wujud syukur atas nikmat yang telah diberikan oleh Sang Pencipta, Allah SWT. Nikmat dari panen misalnya. Tradisi ini masih tetap berjalan hingga sekarang, terutama di desa-desa.
Sang pengempu acara mengundang warga disekitar rumahnya (biasanya kumpulan warga satu RT). Acara berisi sambutan-sambutan singkat, sambil disuguh minuman ringan dan rokok ala kadarnya. Acara biasanya ditutup dengan do'a dan sesudahnya mulai dikeluarkanlah jamuan makanan besarnya. Yang menarik, jamuan makan tersebut hanya sebagai simbul saja karena setelah 2 atau 3 suap makanan langsung dibungkus dan dibawa pulang untuk disantap bersama dengan keluarga yang sudah menunggu.
Berhubung ada acara kenduri, biasanya ibu-ibu tidak memasak untuk makan malam hari ini. Kan sudah ada makanan dari kenduri, kalau masak nanti malah mubazir. Jadi, sudah barang pasti anggota keluarga menunggu sang Ayah pulang membawa berkat (makanan kenduri yang dibawa pulang).
Berkat biasanya dibawa pulang dalam sebuah kemasan daun jati, beberapa ada yang menggunakan daun pisang. Setelah berkat datang, biasanya ditaruh di tempat lapang dalam rumah dan dikerumuni oleh semua anggota keluarga. Ayah, Ibu, Anak menyantap bersama. Sungguh nikmat makan dengan cara seperti ini. Makanan meski disantap bersama, tidak ada yang saling berebut. Masing-masing anggota keluarga sudah tahu batasan-batasannya. Batasan-batasan tersebut secara verbal - non verbal sudah diajarkan oleh orangtua secara sadar maupun tidak.
Adik kakak, walau umur terpaut dekat, diajari cara berbagi dari berkat. Orangtua membiasakan mengalah jika makanan enaknya cuma sedikit, mereka mengalah hanya dengan mengambil sayur dan tahu tempe, biarkan daging/ ayam/ telur dimakan anaknya, apalagi kalau anaknya banyak. Orangtua zaman dahulu kan anaknya banyak, bisa lebih dari 5.
Efek dari makan berkat tersebut untuk masa depan sangatlah besar. Anak jadi rukun, saling membantu, dan punya tata krama. Kehidupan dalam masyarakat pun jadi lebih baik,semua berawal dari dalam keluarga kan?
Peran orangtua sangatlah kunci, filosofi kenduri jika tidak diimbangi dengan bimbingan orangtua tidak akan pernah meresap. Hal ini saya rasakan sekali ketika sekali waktu ada anak tetangga yang kebetulan bermain di rumah dan bertepatan dengan datangnya berkat. Anak tersebut kami ajak bersama menikmati makanan.
Terkejut, risih, dan cuma bisa geleng-geleng. Sepertinya oleh orangtuanya tidak pernah diajari cara berbagi. Mungkin dalam keluarganya terbiasa begitu. Berkat dibuatnya teritori, dia membuat area makananya sendiri, mengumpulkan makanan dengan pola siapa cepat dia dapat, dan jika areanya diganggu akan marah, mirip seperti kucing yang makanan hasil buruannya hendak direbut.
Oleh orangtua saya ditegurlah si anak tetangga itu, diberi pengertian secara halus kalau caranya tidak baik. Lihat, contohlah itu, sambil memandang ke arah kami. Anak tersebut memang senang dan kerasan main di rumah kami, mungkin setelah 3-4 x makan berkat bareng baru bisa mengikuti pola kami. Berbagi itu indah.
Di era sekarang, kenduri masih saja dilakukan. Tetapi, kalau saya amati sudah agak berbeda nilai filosofinya. Ungkapan rasa syukurnya mungkin masih, tetapi tidak dengan filosofi makan barengnya. Acara makan bareng sepertinya bukan hal yang ditunggu, toh makanan di dapur masih banyak, lebih nikmat lagi. Efek kemajuan ekonomi.
Zaman memang sudah berubah, tetapi tidak seharusnya filosofi agung tersebut lenyap. Orangtua sudah mewariskan filosofi agung dalam berkat, sudah seyogyakanya kita sebagai generasi penerus, yang pernah mengalami secara langsung, mewariskannya kepada generasi selanjutnya, sehingga generasi penerus bisa menjadi lebih baik.
Nah, salah satu hal yang juga umum dialami oleh generasi tersebut adalah santap hasil kenduri. Kenduri (disebut juga genduren), merupakan salah satu tradisi budaya kita sebagai wujud syukur atas nikmat yang telah diberikan oleh Sang Pencipta, Allah SWT. Nikmat dari panen misalnya. Tradisi ini masih tetap berjalan hingga sekarang, terutama di desa-desa.
Sang pengempu acara mengundang warga disekitar rumahnya (biasanya kumpulan warga satu RT). Acara berisi sambutan-sambutan singkat, sambil disuguh minuman ringan dan rokok ala kadarnya. Acara biasanya ditutup dengan do'a dan sesudahnya mulai dikeluarkanlah jamuan makanan besarnya. Yang menarik, jamuan makan tersebut hanya sebagai simbul saja karena setelah 2 atau 3 suap makanan langsung dibungkus dan dibawa pulang untuk disantap bersama dengan keluarga yang sudah menunggu.
Berhubung ada acara kenduri, biasanya ibu-ibu tidak memasak untuk makan malam hari ini. Kan sudah ada makanan dari kenduri, kalau masak nanti malah mubazir. Jadi, sudah barang pasti anggota keluarga menunggu sang Ayah pulang membawa berkat (makanan kenduri yang dibawa pulang).
Berkat biasanya dibawa pulang dalam sebuah kemasan daun jati, beberapa ada yang menggunakan daun pisang. Setelah berkat datang, biasanya ditaruh di tempat lapang dalam rumah dan dikerumuni oleh semua anggota keluarga. Ayah, Ibu, Anak menyantap bersama. Sungguh nikmat makan dengan cara seperti ini. Makanan meski disantap bersama, tidak ada yang saling berebut. Masing-masing anggota keluarga sudah tahu batasan-batasannya. Batasan-batasan tersebut secara verbal - non verbal sudah diajarkan oleh orangtua secara sadar maupun tidak.
Adik kakak, walau umur terpaut dekat, diajari cara berbagi dari berkat. Orangtua membiasakan mengalah jika makanan enaknya cuma sedikit, mereka mengalah hanya dengan mengambil sayur dan tahu tempe, biarkan daging/ ayam/ telur dimakan anaknya, apalagi kalau anaknya banyak. Orangtua zaman dahulu kan anaknya banyak, bisa lebih dari 5.
Efek dari makan berkat tersebut untuk masa depan sangatlah besar. Anak jadi rukun, saling membantu, dan punya tata krama. Kehidupan dalam masyarakat pun jadi lebih baik,semua berawal dari dalam keluarga kan?
Peran orangtua sangatlah kunci, filosofi kenduri jika tidak diimbangi dengan bimbingan orangtua tidak akan pernah meresap. Hal ini saya rasakan sekali ketika sekali waktu ada anak tetangga yang kebetulan bermain di rumah dan bertepatan dengan datangnya berkat. Anak tersebut kami ajak bersama menikmati makanan.
Terkejut, risih, dan cuma bisa geleng-geleng. Sepertinya oleh orangtuanya tidak pernah diajari cara berbagi. Mungkin dalam keluarganya terbiasa begitu. Berkat dibuatnya teritori, dia membuat area makananya sendiri, mengumpulkan makanan dengan pola siapa cepat dia dapat, dan jika areanya diganggu akan marah, mirip seperti kucing yang makanan hasil buruannya hendak direbut.
Oleh orangtua saya ditegurlah si anak tetangga itu, diberi pengertian secara halus kalau caranya tidak baik. Lihat, contohlah itu, sambil memandang ke arah kami. Anak tersebut memang senang dan kerasan main di rumah kami, mungkin setelah 3-4 x makan berkat bareng baru bisa mengikuti pola kami. Berbagi itu indah.
Di era sekarang, kenduri masih saja dilakukan. Tetapi, kalau saya amati sudah agak berbeda nilai filosofinya. Ungkapan rasa syukurnya mungkin masih, tetapi tidak dengan filosofi makan barengnya. Acara makan bareng sepertinya bukan hal yang ditunggu, toh makanan di dapur masih banyak, lebih nikmat lagi. Efek kemajuan ekonomi.
Zaman memang sudah berubah, tetapi tidak seharusnya filosofi agung tersebut lenyap. Orangtua sudah mewariskan filosofi agung dalam berkat, sudah seyogyakanya kita sebagai generasi penerus, yang pernah mengalami secara langsung, mewariskannya kepada generasi selanjutnya, sehingga generasi penerus bisa menjadi lebih baik.
No comments:
Post a Comment